Kamis, 24 November 2011

sejarah sunan kali jaga

Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.

sejarah sunan kali jaga


SEJARAH SUNAN KALIJAGA
Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
  • HSEJARAH MUSHOLA ALKAROMAH 



     

DIDIRIKAN TAHUN 2011 OLEH MASYARAKAT PONDOK MELATI

sejarah prabu sliwangi

Seperti diketahui, Pajajaran merupakan kerajaan hindu terbesar di Jawa Barat. Tidak begitu jelas siapa pendiri dan kapan berdirinya. Namun lokasinya diketahui di Bogor sekarang. Raja-raja yang pernah berkuasa diantaranya, adalah: Prabu Lingga Raja Kencana, Prabu Wastu Kencana, dan Prabu Siliwangi.
Di antara raja-raja tersebut yang paling termashyur adalah Prabu Siliwangi. Raja yang terkenal amat bijaksana ini beristrikan putri bernama Dewi Kumalawangi. Dari rahim istrinya ini lahirlah tiga orang putra, yaitu: Raden Walangsungsang, Dewi Rarasantang dan Raden Kiansantang.
Raden Kiansantang lahir di Pajajaran tahun 1315. Dia adalah seorang pemuda yang sangat cakap. Tidaklah heran jika pada usianya yang masih muda Kiansantang diangkat menjadi Dalem Bogor kedua.
Konon, raden Kiansantang juga sakti mandraguna. Tubuhnya kebal, tak bisa dilukai senjata jenis apapun. Auranya memancarkan wibawa seorang ksatria, dan sorot matanya menggetarkan hati lawan.
Diriwayatkan, prabu Kiansantang telah menjelajahi seluruh tanah Pasundan. Tapi, seumur hidupnya dia belum pernah bertemu dengan orang yang mampu melukai tubuhnya. Padahal ia ingin sekali melihat darahnya sendiri. Maka pada suatu hari, dia memohon kepada ayahnya agar dicarikan lawan yang hebat.
Untuk memenuhi permintaan putranya, Prabu Siliwangi mengumpulkan para ahli nujum. Dia meminta bantuan pada mereka untuk menunjukkan siapa dan dimana orang sakti yang mampu mengalahkan putranya.
Kemudian datang seorang kakek yang bisa menunjukkan orang yang selama ini dicari. Menurut kakek tersebut, orang gagah yang bisa mengalahkan Raden Kiansantang ada di tanah suci Mekkah, namanya Sayidina Ali.
“Aku ingin bertemu dengannya.” Tukas Raden Kiansantang.
“Untuk bisa bertemu dengannya, ada syarat yang harus raden penuhi,” ujar si kakek.
Syarat-syarat tersebut adalah:
  1. Harus bersemedi dulu di ujung kulon, atau ujung barat Pasundan
  2. Harus berganti nama menjadi Galantrang Setra
Dua syarat yang disebutkan tidak menjadi penghalang. Dengan segera Raden Kiansantang memakai nama Galantrang Setra. Setelah itu ia segera pergi ke ujung kulon Pasundan untuk bersemedi.
Pergi Ke Mekkah
Tak dijelaskan dengan apa Galantrang Setra pergi ke Mekkah. Yang pasti sesampainya di Arab beliau langsung mencari Sayidina Ali.
“Anda kenal dengan Sayidina Ali?” Tanya Kiansantang pada seorang lelaki tegap yang kebetulan berpapasan dengannya.
“Kenal sekali,” jawabnya.
“Kalau begitu bisakah kau antar aku kesana?”
“Bisa, asal kau mau mengambilkan tongkatku itu.”
Demi untuk bertemu dengan Ali, Kiansantang menurut untuk mengambil tongkat ya tertancap di pasir. Tapi alangkah terkejutnya ia ketika mencoba mencabut tongkat itu ia tak berhasil, bahkan meski ia mengerahkan segala kesaktiannya dan pori-porinya keluar keringat darah.
Begitu mengetahui Kiansantang tak mampu mencabut tongkatnya, maka pria itu pun menghampiri tongkatnya sambil membaca Bismillah tongkat itu dengan mudah bisa dicabut.
Kiansantang keheranan melihat orang itu dengan mudahnya mencabut tongkat tersebut sedang ia sendiri tak mampu mencabutnya.
“Mantra apa yang kau baca tadi hingga kau begitu mudah mencabut tongkat itu? Bisakah kau mengajarkan mantra itu kepadaku?”
“Tidak Bisa, karena kau bukan orang islam.”
Ketika ia terbengong dengan jawaban pria itu, seorang yang kebetulan lewat di depan mereka menyapa; “Assalamu’alaikum Sayidina Ali.”
Mendengar sapaan itulah kini ia tahu bahwa Sayidina Ali yang ia cari adalah orang yang sedari tadi bersamanya. Begitu menyadari ini maka keinginan Kiansantang untuk mengadu kesaktian musnah seketika. “Bagaimana mungkin aku mampu mengalahkannya sedang mengangkat tongkatnya pun aku tak mampu,” pikirnya.
Singkat cerita akhirnya Kiansantang masuk agama islam. Dan setelah beberapa bulan belajar agama islam ia berniat untuk kembali ke Pajajaran guna membujuk ayahnya untuk juga ikut memeluk agama islam.
Usaha Kiansantang Mengislamkan Ayahnya
Sesampainya di Pajajaran, dia segera menghadap ayahandanya. Dia ceritakan pengalamannya di tanah Mekkah dari mulai bertemu Sayidina Ali hingga masuk islam. Karena itu ia berharap ayahandanya masuk islam juga. Tapi sayangnya ajakan Kiansantang ini tak bersambut dan ayahandanya bersikeras untuk tetap memeluk agama Hindu yang sejak lahir dianutnya.
Betapa kecewanya Kiansantang begitu mendengar jawaban ayahandanya yang menolak mengikuti ajakannya. Untuk itu ia memutuskan kembali ke Mekkah demi memperdalam agama islamnya dengan satu harapan seiring makin pintarnya ia berdakwah mungkin ayahnya akan terbujuk masuk islam juga.
Setelah 7 tahun bermukin di Mekkah, Kiansantang pun kembali lagi ke Pajajaran untuk mencoba mengislamkan ayahandanya. Mendengar Kiansantang kembali Prabu Siliwangi yang tetap pada pendiriannya untuk tetap memeluk agama Hindu itu tentu saja merasa gusar. Maka dari itu, ketika Kiansantang sedang dalam perjalanan menuju istana, dengan kesaktiannya prabu Siliwangi menyulap keraton Pajajaran menjadi hutan rimba.
Bukan main kagetnya Kiansantang setelah sampai di wilayah keraton pajajaran tidak mendapati keraton itu dan yang terlihat malah hutan belantara, padahal dia yakin dan tidak mungkin keliru, disanalah keraton Pajajaran berdiri

sejarah mushola alkaromah pondok melati